Selasa, 16 Agustus 2011

PUNYAMU, PUNYAKU


                  “Waduh, terjadi penghashaban nih.” Spontan temen ane berkata ketika keluar dari asrama, dan melihat sandalnya tidak berada di tempatnya. Rupanya sang sandal dighashab (dipakai tanpa meminjam) oleh orang lain. Kesal, ia lantas berkata,”ghashab juga lah aku.” Ia pun memakai sandal yang, dianggap, nganggur.
                Di perjalanan menuju masjid ia meceritakan kejadian itu kepada ane. Maka ane bilang,” seharusnya ente bersabar. Bukannya ngebalas. Apalagi yang jadi sasaran pembalasan ente orang lain. Kalo ente ngebalas pelakunya sih... ga masalah.”
                “ya... habis gimana dong... kita kan ga tau pelakunya,” timpalnya.
                “Justru di situ kesabaran ente diuji. Seandainya semua orang bersikap kayak ente, ga bakal selesai masalah ghashab-mengghashab.”
                “tapi, ya... daripada ntar kaki kotor, trus masuk masjid mau shalat. Kita ga tau kalo-kalo nginjek najis.”
                “mending masuk masjid dengan kaki kotor ketimbang masuk masjid dengan bawa dosa.”
                “iya juga, ya.”
               
                Fenomena Ghashab (memakai barang orang lain tanpa meminjam) telah menjadi fenomena yang dianggap biasa di pondok pesantren. Bahkan mejadi kebudayaan yang tak pernah hilang. Satu orang berbuat, karena semua bermental sama, yang lain ikut berbuat. Maka terjadilah ghashab-mengghashab/pengghashaban berantai (serem amat). Yang sangat disayangkan, budaya ini justru bersemi di pondok-pondok pesantren, yang mana, tentunya, masyarakatnya lebih paham akan perkara agama.

                Nah, sobat eL-Ha, tentunya kita sebagai muslim malu—bagi yang masih punya rasa malu—akan kenyataan ini. Apa lagi bagi yang sekarang sedang nyantri di pondok pesantren. Dan, tentunya, kita ga bisa lari dari masalah ini. Lari dari masalah ga akan menyelesaikan masalah. Justru menambah masalah, betul? So, bagi sobat-sobat eL-Ha sekalian yang masih punya kepedulian—khususnya sobat-sobat santri—akan citra umat muslim, pesantren dan terlebih citra agama islam yang mulia ini. Mari kita bersama-sama, menyatukan kekuatan, dengan segala upaya memnghapuskan budaya ghashab. Caranya mudah, kok. Pertama, kita mulai dari diri sendiri. Jangan pernah melakukannya. Kalo emang kita ga punya sandal—misalnya—ya jangan ngerasa punya sandal. Trus gimana dong kalo kita yang jadi korban? Ya sabar. Ingat?! Orang yang sabar dicintai Allah. Ketika kita menjadi korban, jangan terpancing untuk membalasnya. Mending jalan kemana-mana nyeker, kepanasan, dan kotor ketimbang kemana-mana dengan kaki dijamin mendapat siksa neraka yang lebih panas dan lebih kotor.
                Kedua, kalo ada temen kita yang berbuat ghashab, tugas kita untuk ngingetin dia. Jangan acuh. Ga da ruginya kok memberi nasihat. Justru berpahala.

                Ketiga, ni bagi sobat-sobat eL-Ha yang termasuk golongan be have. Cobalah sekali-sekali (kalau perlu banyak kali) kita tunjukkan rasa kebersamaan. Misal, kalo ada temen yang ga mampu membeli sandal, kita bisa menyisihkan rizki yang kita miliki sedikit untuk membelikan dia sandal. Walau hanya sekadar swallow. Kita ga akan rugi mengeluarkan uang untuk hal demikian. Selain dapat ganjaran, juga masalah ghashab bisa teratasi. Dan tentunya kita akan dihargai oleh teman-teman kita (tapi tenang, ga diri kita ga bakal di lelang kok. Hehe). Dan tentunya kita berbuat demikian bukan karena ingin pujian.

                Nah, sobat eL-Ha, pastinya kita ingin citra muslim yang mulia. Jadi, jangan anggap remeh hal-hali kecil. So, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang.