Kamis, 29 September 2011

DUA PILIHAN RUMIT MENUJU KEMANDIRIAN


Mandiri. Sebuah kata yang sederhana diucapkan, namun sulit untuk diwujudkan. Menjadi orang yang mandiri tidak sesederhana itu. butuh kemauan kuat, cita-cita besar, dan usaha yang keras. Waktu yang ditempuh pun tidak sebentar. Bisa memakan waktu bertahun-tahun. Rasulullah saja, membutuhkan kurang lebih 17 tahun untuk bisa menjadi orang yang mandiri, plus tangguh. Nah, kalau seorang nabi saja, yang tentunya punya banyak kelebihan, membutuhkan 17 tahun, apalagi kita. Kalau belum apa-apa kita udah menyerah, kapan kita bisa mandiri?
Tapi memang, sangat banyak hambatan, godaan, dan cobaan untuk menjadi orang yang mandiri. Terkadang, hambatan itu datang dari luar. Dan ini sering sekali aku alami. Ketika aku ingin berbuat sesuatu—ketika aku membicarakannya dengan kawan-kawanku juga orangtuaku—aku seolah dibelokkan dari niatku. Di satu sisi, aku diharapkan untuk bisa mandiri. Di sisi lain,

Sabtu, 24 September 2011

AKHIRNYA AKU PAHAM AKAN CINTA



                Lama ia memandang wajah di foto berukuran dompet itu. Wajah manis nan ayu, tersenyum kepadanya. Mata hitam kecoklatannya dan bibir tipis merah muda, menambah kesan kecantikannya. Rambut lurus sepinggan hitam legam. Alis tebal dan bulu mata yang lentik. Siapapun yang memandangnya, pasti setuju bahwa ia memang sempurna. Yah—mungkin—bagi orang yang melihat kesempurnaan wanita hanya dari fisiknya. Dan mungkinkah dirinya pun begitu? Mungkin saja.
                Tak bosan-bosannya ia terus memandangi wajah di dalam foto itu. Tetapi ketika mengingat apa yang telah terjadi, ia muak. Marah. Dan rasa dendam timbul dalam hatinya. Rasanya seolah ia ingin membalas perlakuan wanita dalam foto itu kepadanya, tapi ia tidak bisa. Itu pikiran konyol, pikirnya. Itu pasti bisikan syaitan, ia mengingatkan dirinya, jangan terbawa godaan.
                Terbayang lagi kenangan akan wanita itu. Awalnya wanita itulah yang mengajaknya berkenalan, dan merekapu menjalin persahabatan. Sebulan menjalani persahabatan, timbullah rasa suka diantara keduanya.

Kamis, 22 September 2011

IDENTIFIKASI KUALITAS MELALUI KATA-KATA



                Isu mengenai keharaman facebook bukan  lagi berita baru, alias sudah basi. Kesimpulannya, semua tergantung siapa yang menggunakannya. Artinya, bukan facebooknya yang haram, tetapi perbuatannya, yang tidak sebagaimana mestinya, yang diharamkan. Namun, kali ini ane tidak akan mebahas haram tidaknya (lagia ane juga bukan MUI, hehe).
                Ada satu hal yang dianggap remeh oleh sebagian banyak/besar orang, yakni perbuatan yang sia-sia. “Memang apanya yang sia-sia?” memang, tujuan utama dibuatnya situs jejaring sosial dibuat adalah untuk mencari teman, menjalin persahabatan, menambah koneksi, chatting, bertukar informasi, atau menemukan sahabat lama. Tapi ada satu hal yang membuat ane heran. Seperti di kolom ‘Apa yang anda pikirkan hari ini?’ pada situs jejaring sosial facebook. Setiap kali ane buka facebook, hampir tidak ada sama sekali yang menulis pada kolom tersebut sesuatu yang punya nilai lebih. Yah, sesuatu yang lebih dari hanya sekedar ungkapan, “ah... capek,” atau,”abis kuliah... bete nih... dosennya marah mulu,” atau,”pulang kerja nih... hujan... becek...,” atau 

bahkan.”duh, dakit perut, mo boker, nehhh..” dan beberapa ungkapan lain sejenis yang sama sekali ga mutu. “Loh, tapi kita kan juga ga dapat dosa bla... bla... Memang, kita nggak dapat dosa. Tapi, tetep aja kita rugi. Pertama, pertama, kita buang-buang uang, waktu dan tenaga (meskipun sedikit) hanya untuk menulis hal-hal seperti itu yang belum tentu ada yang nanggapin. Ya, ga? Kalau pun ada yang nanggapin, tanggapannya pun sama ga mutunya hingga terjadilah diskusi yang ga mutu.
                Kedua, dan ini yang paling penting, berbuat seperti itu hanya akan menunjukkan kepada orang lain bahwa itulah diri kita sebenarnya. Segitulah kualitas diri kita. Ane teringat dosen ane pernah berkata, “kalau ingin melihat seperti apa pribadi seseorang, ajak saja dia ngobrol barang lima belas hingga tiga puluh menit. Apa yang keluar dari mulutnya, itulah sesungguhnya  dia.” Jadi, sangat disayangkan sekali kualitas generasi muda Indonesia hanya sebatas ungkapan-ungkapan tadi. Kalau ada yang ingin membantah pernyataan ane, maka ane katakan, ada seribu satu cara untuk melakukannya. Ada seribu satu alasan untuk menghindar dari kenyataan.
                Nah, sobat eL-Ha. Kita dapat memetik hikmah dari fenomena ini. Konklusinya, jangan sampai kita terjebak dalam hal-hal yang sia-sia ini. Situs jejaring sosial?! Boleh. Yang penting, gunakanlah untuk hal-hal yang bermanfaat. Jangan untuk hal-hal yang ga mutu, apalagi yang dilarang. Coba deh, kalo kita lagi online, tulis uneg-uneg dan ide-ide yangakan membangkitkan minat belaja, bekerja dan beribadah. Buatlah forum diskusi yang menarik serta membangkitkan semangat juang pemuda, sehingga dunia melihat dan berkata, “inilah pemuda-pemudi penerus bangsa Indonesia! Benar-benar bermutu!” Trus, gimana kalo ada yang berbuat hal yang sia –sia? Coba deh, kita yanggapin, beri saran kepadanya akan indahnya ungkapan-ungkapan yang bermutu. Okey, sobat.
               

YANG PENTING HATINYA?



                Beberapa waktu lalu, ane terlibat dalam perdebatan yang sengit dengan teman ane. Pada dasarnya dia mempertahankan pendapatnya bahwa, pergi ke dukun untuk berobat itu boleh asalkan niatnya karena Allah. “Yang penting hatinya,” ucapnya.
                Pepatah mengatakan, “orang yang berilmu ibarat padi, semakin berisi semakin menunduk.” Namun pepatah tersebut tampaknya sudah hampur tidak berlaku lagi saat ini. Seharusnya, semakin bertambah ilmu seseorang, maka ia akan semakin tawadlu (rendah hati). Namun realita berkata sebaliknya. Amerika denga kepintarannya, membuat senjata-senjata pemusnah massal untuk menguasai dunia. Zionis Israel dengan kepintarannya, mengendalikan negara-negara di Dunia untuk kepentingannya. Orientalis dengan kepintarannya, mencoba menghancurkan Islam melalui ilmu pengetahuan, sejarah dan pemikiran. Pejabat dengan kepintarannya, menipu rakyatnya. Dan tidak sedikit pula umat islam dengan kepintarannya mempermainkan ajaran islam.
                Sobat eL-Ha. Di samping contoh-contoh di atas yang saya sebutkan di atas tentunya masih banyak lagi contoh-contoh lain yang  setema. Namun kali ini saya hanya akan membahas contoh yang terakhir disebutkan. Ya. Banyak umat islam yang menggunakan kepintarannya, pengetahuan dan ilmunya, untuk menghindar dari syari’at islam. Menggunakan hukum untuk lari dari hukum.

MENCARI SESUATU YANG HILANG



                Sudah lewat dua jam aku berdiri, mondar-mandir di ruangan ini, mengamati barang-barang bekas. Tas bekas, sepatu, panci, lemari besar dengan satu pintunya yang copot. Sebuah tongkat di sudut ruangan yang dulu kupakai ketika pramuka. Kasur busa yang sudah bolong di sana-sini serta berbagai macam barang dari yang masih dapat dipakai hingga yang tak layak pakai. Ada satu hal yang terlupa. Aku yakin sudah memeriksa semuanya hingga ke celah-celah sempit di antara tumpukan barang-barang, namun tak kutemukan.
                Aku berjalan keluar dari gudang, kemudian duduk berselonjor, bersandar ke dinding menghadap ke luar pintu belakang rumahku. Resah. Gelisah. Letih. Sedih? Tidak, tidak. Tapi mungkin.
                Kuputar kembali ingatan kejadian tadi. Aku sudah memeriksa semua kamar, lemari, rak-rak, dapur dan terakhir gudang. Namun tak kutemukan sesuatu itu. Sudah beberapa hari ini aku merasa gelisah. Sangat gelisah, karena sesuatu yang hilang itu. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Apapun yang kulakukan, aku tetap merasa kehilangan.
                Wait a minute! Tunggu dulu! Sebenarnya aku kehilangan apa, sih? Apa sebenarnya yang aku cari? Bagaimana mungkin aku menemukannya kalau apa sesuatu itu akupun tak tahu?...
            

Rabu, 21 September 2011

SIAPA MENELADANI SIAPA


                “Seharusnya antum semua sebagai mahasantri, dan sebagai kakak bagi adik-adiknya di SMP dan SMA, mampu menjadi contoh yang terbaik. Kalau shalat, selalu menjadi yang terdepan. Datang sebelum adzan berkumandang. Bukan berangkat ketika qamat bla... bla... bla...” kata salah seorang ustadz ane di pondok.

                Sobat eL-Ha, mungkin di antara kita ada yang sedang bersekolah di SMP atau SMA. Atau mungkin kuliah (seperti ane). Pastinya kita punya adik, kan? Mungkinn satu, dua dan seterusnya. Tapi ane anak bungsu”, atau ,“ane anak tunggal,” kata sebagian dari kalian, misal. Menjadi anak bungsu ataupun anak tunggal bukan berarti kita ga punya adik. Kita punya sepupu yang lebih kecil dari kita, anak tetangga, ata, seperti dalam kasus ane di atas, karena ane nyantri di sebuah pondok pesantren, adik-adik kelas ane, yang di SMP dan SMA, tentunya menjadi adik ane.

                Nah, sekarang kita sudah tahu kalau kita punya adik. Artinya, kita adalah seorang kakak. Dan sebagai kakak, kita musti menjadi contoh, teladan, dan panutan bagi adik-adik kita. Seorang adik cenderung mengikuti tingkah laku kakaknya. Maka tak jarang, ketika adik kita berbuat salah atau dilarang berbuat sesuatu, nama kita disebut-sebut olehnya. “tapi, bunda, bang Albar juga bla... bla... bla....” Kira-kira begitu kata adik ane di rumah. Bagi yang nyantri seperti ane pun juga, mungkin, sering mendengar adik kelas berkata, “tapi, Ustadz. Kakak SMA aja boleh begini dan begitu,” atau,”kakak mahasiswa kok boleh begini dan begitu. Kok kami dilarang”?

                Sobat eL-Ha, segala perbuatan kita yang tertangkap kamera adik kita akan terekam dengan baik dalam memori mereka. Oleh karenanya, kalau ingin punya adik yang shalih dan shalihah, kudu jadi shalih/shalihah dulu. Tapi, lagi-lagi karena kita Cuma manusia biasa, terkadang kita kurang peka, alias cuek bebek  terhadap hal-hal seperti ini. Namun, hal itu wajar, jika kita masih mau menyadari, mengakui dan bertekad untuk merubah sikap kita. Yang jadi masalah besar, terkadang justru malah kita sebagai kakak yang iri terhadap perlakuan orangtua, guru atau ustadz kita kepada adik-adik kita. Tak jarang kita mengeluh ingin disamakan dengan mereka. Kalau sudah begini, mau jadi apa kita?! Nah, makanya, mulai dari sekarang, mumpung masih ada waktu, kita masih bisa meruba hal-hal buruk agar kita mampu menjadi contoh dan teladan yang baik bagi adik-adik kita.

                Eit. Masih ada satu masalah yang terlewat. Yang tentunya ini tak kalah penting. Baca lagi paragraf pembuka! Pahami! Kalian tahu skenarionya. Ya, di situlah masalahnya. Terkadang orangtua, guru, dan ustadz menginginkan anak-anaknya atau menyuruh berbuat begini dan begitu. Tapi terkadang lupa diri. Dirinya sendiri belum begini dan begitu. “nak, belajar!” kata ibu yang sedang nonton sinetron. Seorang ayah melarang anaknya mencuri, karena itu perbuatan dosa. Namun tanpa sadar, atau memang sengaja, mengakali termis/meteran listrik biar bagaimana bisa pakai banyak bayar dikit. Atau seperti dalam kasus ane, santri-santrinya yang lebih tua diperintahkan untuk datang ke masjid lebih awal dari adik-adiknya, sebagai contoh bagi mereka. Tapi, kenyataannya, ustadz, pengasuh/mushrifnya selalu datang belakangan. Ups, ane bukan ingin menjelek-jelekkan seseorang atau suatu lembaga. Ane cuma ingin agar kita sama-sama membuka mata. Jadi, jangan mimpi punya anak-anak atau santri-santri yang shalih dan shalihah.

                Jadi, sobat. Bukan ingin menyalahkan dan tak mau disalahkan. Cuma ingin kita sama-sama bisa memetik hikmahnya.