Sabtu, 21 Januari 2012

Si Raja Khayal


“Al, gue bisa ikut ama lo gak, pulang nanti?” kata Rini.
            Emm... Sori, ya. Tadi gue dah janji sama Aisha. Mungkin lain kali aja, yah.” Jawab Albar. Sesungguhnya dia sama sekali tidak ingin pulang bersama Rini. Apalagi harus ikut memberinya tumpangan. Dia tidak sudi Lamborgini Diablo SV miliknya dinaiki oleh orang-orang, yang menurutnya, tidak pantas. Rini ingin numpang Lambo gue? ga, deh, batinnya.
            Rini, anak kelas satu A dari jurusan IPA, memang termasuk anak yang sangat cantik. Dia juga pintar, cakap berbicara, dan juga, bisa dibilang, sedikit glamour. Ya, cuma sedikit. Masalahnya, orangtuanya tidak kaya-kaya amat. Tapi, dia, dengan kemanjaannya yang berlebihan, selalu mendesak orangtuanya untuk membelikan ini dan itu. Dia ingin selalu bisa Up To Date. Setiap ada hal-hal baru, apakan itu fashion, IT, atau bahkan masakan-masakan mahakarya koki Internasional, dia selalu berusaha untuk menjadi yang terdepan, walau kenyataannya, dia selalu ketinggalan, bahkan oleh teman-teman sekolahnya yang keluarganya jauh lebih kaya.
            Sambil melangkah ke tempat parkir di bagian kanan halaman sekolah yang luas, Albar masih terbayang akan Rini. Dasar si Rini, keluhnya dalam hati, bisakah dia ga terus-terusan deketin aku. Sebenarnya, banyak cowok yang suka sama cewek berambut lurus  sepinggang itu. tapi tidak dengan Albar. Ada satu sisi, tidak, sebenarnya banyak, yang tidak disukainya dari cewek itu. Suka menyombongkan diri, suka mencela orang lain, dan penampilannya... ah, sama sekali bukan wanita idamannya.
            Ehem. Tuh, dah ditunggu sama bidadari.” Tiba-tiba Aldi menepuk pundaknya, sambil nyeletuk.
            Ah, lo ada-ada aja, sob.
            “Haha... Ya dah, deh. Gue cabut duluan, ya.” Sekali lagi Aldi menepuk pundak Albar, kali ini dengan cukup keras, dan berlalu.
            Tidak sempat membalasnya, ia hanya bisa menatap punggung sahabatnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya dari sahabatnya yang sudah berlalu ke tempat dimana Diablo SV-kuning diparkir. Di sisi sebelah kanannya, Aisha berdiri ditemani oleh Santi, sahabat sebangkunya.
            eehh... Udah siap, lom?” tanyanya.
            “Siap apanya?” Aisha balik bertanya. Suaranya yang lembut selalu membuat hati Albar berdebar-debar.
            emm... Kali aja ada yang ketinggalan. Mungkin?” sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Albar jadi salah tingkah.
            “Iya, Ketinggalan jejak,” Celetuk Santi. “Ya, udah, ntar kalian telat, loh.
            “Telat apanya? Kami gak kemana-mana, kok,” balas Albar, makin salah tingkah.
            yaa.. kali aja, kan. Biasanya kalo pasangan lagi...”
            “Santi..!” sela Aisha. Kembali, Albar merasakan getaran-getaran dalam hatinya, walaupun ia sama sekali tidak demam hari ini. Ia sehat-sehat saja.
            “Ya, dah, San. Kami duluan, ya,” kata Albar. Ia pun langsung membuka pintu Diablo dengan remote, dan, kedua pintu Diablo bergaya Scissors terbuka. Albar langsung masuk ke dalam mobil disusul Aisha. Ia lalu menstarter mobil, dan mobil pun menderum dengan suara khas Lambo yang seperti suara pesawat terbang. Ia lalu memundurkan mobilnya dan membuka jendela kaca. “Maaf, ya, San. Mobilnya ga muat.”
            Ga apa-apa, kok. Hati-hati di jalan, ya.”
            Albar lalu mengemudikan mobilnya menuju gerbang sekolah, dan, mobil pun menghilang dari pandangan Santi.
***
            Diablo-kuning melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya yang cukup lengang. Biasanya Albar, ketika kondisi jalanan seperti ini, mengemudikan Lambo-nya dengan kecepatan 100 km/h ke atas. Tapi kali ini, ia tak boleh melakukannya.
            emm... kita langsung kemana, nih?” kata Albar, membuka pembicaraan. Sejak tadi mereka hanya diam membisu.
            Agak lama Albar menunggu jawaban dari Aisha. Akhirnya Aisha menjawab, “langsung pulang aja. Memangnya mau kemana juga?”
            Eeh... kali aja, kan, pengen jalan-jalan dulu,” berusaha untuk tidak gerogi.
            Ga, ah. Ga enak sama Ummi Albar kalo lama pulangnya.”
            Ga apa, ntar aku yang jelasin sama Ummi.” Albar mencoba untuk meyakinkan Aisha, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
            Lama tak ada suara, akhirnya Aisha menjawab, “Ada Allah, A’.”
            DEGH! Hati Albar berdegub kencang. Baru kali ini ia merasa sangat malu sekali. Selama ini ia memang tidak pernah mengajak Aisha jalan-jalan. Hubungan mereka hanyalah sebatas pulang-pergi sekolah bareng saja. Mereka pun jarang sekali berbicara, walaupun mereka tahu, mereka saling mencintai. Namun, tentu saja, mereka paham akan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dalam Agama. Mereka hingga saat ini masih mampu mengendalikan perasaan mereka, walau terkadang Albar tergoda untuk memacari Aisha. Albar mencintai Aisha karena ia melihat Aisha sebagai wanita sempurna Idamannya. Wajahnya tidak kalah cantiknya dengan Rini. Tapi bedanya Aisha punya kepribadian yang mulia, seperti yang baru saja ditunjukkannya. Tutur katanya lembut, Agamanya baik, juga tidak kalah cerdas dengan Rini. Pokoknya dia begitu sempurna bagi Albar.
            Aisha, di dalam hatinya pun merasakan apa yang juga dirasakan Albar. Walaupun Albar orang kaya, tapi dia tidak pernah menyombongkan kekayaannya. Ia juga selalu peduli dengan orang-orang yang tidak mampu. Walaupun ia tidak begitu cerdas intelektuanya, namun, jiwa kepemimpinannya sangat tinggi. Dan itu terbukti dari apa yang sudah dicapai oleh Albar hingga saat ini. Ia adalah bisnisman termuda di Negara ini.
            “Aisha,” Albar kembali mencoba mencairkan suasana setelah ketegangan yang dirasakannya. “Aa’ minta maaf, ya, sudah lancang. Aa’ hanya ingin... tak tahu lah apa mau dikata. Hanya saja Aa’ selalu..”
            “ALBAR! Beli minyak goreng dulu di warung, le!”
            Apa? Terdengar suara Ummi memanggil Albar. Kan Cuma berdua aja disini. Oh, tidak.
            “Aaah... Ummi... Gangguin orang aja, nih. Lagi asyik-asyik gini.”
            “Kamu ngayal lagi?” tanya Ummi. “ walah, le, le. Coba kerjakan sesuatu yang berguna, gitu lho. Belajar, kah. Mandi, kah. Apalah pokoknya. Jangan Cuma ngayal tok.” Ummi selalu heran melihat putranya yang satu ini. Rupanya dari tadi Albar menghayal, sampai lupa segalanya.
            Albar bangkit dari tempat tidurnya dengan malas. Dia paling tidak suka kalau aktifitas menghayalnya diganggu. Tapi mau gimana lagi, ia tak bisa membantah Ummi. Ia terlampau sayang sama Ummi. Akhirnya, dengan sedikit perasaan enggan, ia berangkat juga ke warung yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya.
           
            Di perjalanan, Albar melanjutkan hayalannya.
            “Aisha. Bulan depan Aa’ berangkat ke Amrik. Stok mobil sport di Perusahaan Aa’ hampir habis. Sekalian ngambil Produk terbaru. Aisha mau minta oleh-oleh apa dari sana?”
            Emang boleh, A’?” tanya Aisha.
            “Ya, boleh lah. Apa sih yang enggak buat Aisha?” Albar mengiyakan, sambil berusaha menjaga  agar nada bicaranya tidak menimbulkan kesan merayu.
            Emm...  gimana kalo buku. Buku-buku sains, motivasi, sama... yah, yang ilmiah-ilmiah, lah.
            Eeh... boleh.” Albar selalu merasa heran dengan Aisha. Tidak Cuma Aisha dalam hayalannya, namun juga di kehidupan sebenarnya. Selalu penuh dengan aktifitas keilmuan. “tapi, bener Aisha ga pengen barang-bar..”
            Oi!,” diam-diam Aldi mengagetinya dari belakang. “Ada apa, Sob. Dari tadi gue perhatiin jalannya nunduk terus. Ntar nabrak tembok baru tau rasa, loe.
            Oh, tidak! Pengganggu lagi.Ah, elo Di. Emang elo ga ada kerjaan lain apa, selain ngagetin orang?” Albar berkata dengan sedikit kesal, karena hayalannya diganggu lagi.
            “ya... Abis, mau ngagetin pocong gak mungkin. Malahan guenya yang bisa jantungan.” Celetuk Aldi, berusaha mengembalikan semangat sahabatnya itu. “Sob, gue denger-denger nih, sekolah kita mengadakan program pertukaran pelajar. Kurang tau juga, sih, dengan Negara apa.”
            “Serius, Loe?” tanya Albar setengah tertarik.
            Liat aja besok pagi pas Upacara hari senen.
***

            “Kita berharap, dengan diadakannya program pertukaran pelajar ini, selain mempererat hubungan Bangsa Indonesia dengan Kanada, juga sebagai bentuk upaya kita bersama untuk bisa memajukan pendidikan,” kata Pak Kepala Sekolah di sela pidatonya, di hadapan seluruh siswa dan para guru. “...dan, tentunya, yang akan kita utus nanti adalah siswa-siswa yang berprestasi dan punya kemauan kuat serta pekerja keras.” Kata-kata Pak Kepala Sekolah menggema di setiap sudut sekolah.
            Albar merasakan telinganya berdengung, seolah telah terjadi ledakan yang dahsyat di dekatnya. Ceramah Pak Rusman tadi terngiang-ngiang di telinganya. hingga sekolah usai, ia masih terus memikirkannya. Yang lebih membuatnya terpukul lagi, salah seorang yang terpilih untuk mewakili sekolah mereka adalah Aisha di kehidupan nyatanya. Ia merasa sangat sedih sekali. Segala yang ada di dalam hayalannya jauh berbeda dengan apa yang terjadi. Bukan dirinya yang berangkat ke luar negeri, melainkan Aisha. Ia mencintai Aisha, namun Aisha tidak. Selama ini, di kehidupan nyatanya, Aisha hanya menganggapnya sebagai teman biasa.
            Masih merenungkan kenyataan hidupnya, di dalam angkot menuju ke rumah. Ia membayangkan, adakah sesuatu yang lebih menyedihkan selain ini? Sekarang, setelah sekian tahun, sejak dirinya kanak-kanak, hingga saat ini, ia baru menyadari betapa bodohnya dia. Selalu terbuai oleh khayalan-khayalan indahnya, yang tidak seindah kenyataan. Selama ini ia membayangkan dirinya adalah seorang pemuda kaya raya, baik hati, dermawan, peduli kepada sesama, dan, memiliki Aisha, namun, kenyataannya, dia tidak punya usaha sama sekali untuk meraih semua itu. Hanya khayalan belaka.
            Setibanya dirumah, setelah menceritahan semuanya kepada Ummi dengan penuh penyesalan, ia takut Ummi akan kecewa dan marah. Namun ternyata tidak. Ummi adalah orang yang berjiwa besar. Ummi tidak ingin putranya yang telah mengakui kekeliruannya dengan penyesalan yang sangat, menjadi tambah sedih dengan omelannya.
            Le, kamu tidak usah bersedih. Ummi tidak akan marah sama kamu. Kamu sudah berbesar hati dengan mengungkapkan semuanya,” kata Ummi, berusaha mencerahkan semangat putranya yang sempat memudar. “Semua itu pasti ada Hikmahnya, asal kamu mau mengambil pelajaran darinya.”
            Aku harus berubah, batin Albar. Ia tidak boleh terus-terusan melakukan ini. Setelah mendapat nasihat dari Ummi, timbul keinginan kuat untuk meninggalkan Imajinasinya. Tapi, ketika ia mengutarakannya kepada Ummi, tidak seperti yang dia bayangkan.
            “Punya Imajinasi yang kuat bukan berarti buruk,” jawab Ummi, “asal kamu bisa mengendalikan Imajinasi kamu, bukan kamu yang dikendalikan oleh Imajinasimu. Le, coba, deh, Albar mengarahkan Imajinasi Albar ke arah yang baik, itu bisa membuahkan hasil yang baik. Kamu bisa menulis novel yang islami. Kamu bisa jadi sutradara, menggantikan sutradara-sutradara film horor yang tidak punya moral itu. dan banyak sekali yang bisa kamu lakukan kalau kamu bisa mengarahkan Imajinasimu.”
            Ummi benar. Tidak selamanya Imajinasi itu buruk. Berapa banyak tokoh-tokoh yang lahir dari Imajinasinya. khairil anwar, Dedy Mizwar, dan yang lagi ngetop baru-baru ini, Ustadz Habiburrahman El-Shirazy, dan masih banyak lagi. Dan, karya-karya mereka tidak hanya khyalan belaka yang tidak bermakna. Karya-karya mereka mampu menggugah dunia. Ia ingin menjadi seperti mereka. Melahirkan karya-karya yang mampu menggugah dunia.
            Esok pagi, ia akan berusaha bangun lebih awal. Melaksanakan shalat tahajjud dan berazzam. Ia akan bertekad untuk belajar lebih giat, bekerja lebih rajin, beribadah lebih Ikhlas. Dan yang terpenting, ia harus bisa mengendalikannya Imajinasinya.
            Esok pagi, ketika ia membuka jendela kamarnya, dan menatap pemandangan yang indah, ia juga akan membuka lembaran baru hidupnya. Dan ketika ia meninggalkan rumah, berangkat ke sekolah, ia juga telah meninggalkan kebiasaan buruknya. Bermalas-malasan dan selalu terbuai oleh Khayalan gilanya. Ia akan membuang itu jauh-jauh.
***
            Tujuh tahun kemudian. Kota-kota besar hingga kecil di seluruh Indonesia sedang Booming Film Religi terbaru yang sangat fenomenal. “Akidahku Di Perantauan” judul Film itu. Dua pekan yang akan datang, film itu akan diputar di seluruh bioskop di seluruh Indonesia. Bahkan, Negara tetangga, Malaysia, juga akan memutarnya di beberapa kota besar mereka. Film tersebut diadaptasi dari Novel Best Seller “Akidahku Di Perantauan” yang telah terbit sejak tahun lalu telah terjual lebih dari satu setengah juta eksemplar. Kehadiran Film ini disambut hangat oleh masyarakat seluruh Indonesia, sehangat sambutan yang diberikan kepada novelnya.
            Albar. Ya, dialah sang pengarang novel “Akidahku Di Perantauan,” sekaligus, dia adalah sutradara film itu sendiri. Setelah tujuh tahun lamanya, sejak hari dimana titik balik dalam hidupnya,  dia bekerja keras, dan mendapatkan hasilnya. Kini, khayalan-khayalan masa lalunya yang gila, akan ia wujudkan.
            Kurang lebih Enam tahun ia bekerja keras, belajar sungguh-sungguh, beribadah yang tekun, dan berjuang mengendalikan Imajinasinya, ia telah meraih apa yang diimpikannya. Novelnya, yang ia tulis selama tiga tahun lebih, dan atas bantuan dari Aisha sebagai rujukan dalam novelnya yang berlatar Indonesia dan Kanada, telah menjadi mahakarya yang penuh dangan Inspirasi. Dan, tentu saja, dari hasil penjualan novel tersebut ia mendapatkan milyaran rupiah, ditambah lagi keuntungan yang akan didapatkannya dari produksi Film “Akidahku di Perantauan.” Ia akan terus berkarya.
            Albar. Kini Ummi bangga atas apa yang telah diraihnya. Ia akan menghajikan Ummi, ia akan membiayai sekolah dan kuliah adik-adiknya, dan, ia juga berencana akan mencari rumah baru untuk keluarga mereka di daerah pedesan yang sejuk dan jauh dari keramaian, dan Ummi pun menyetujuinya. Ia akan membeli sebuah mobil, walau bukan Lamborgini Diablo SV impiannya, yang bisa digunakan untuk mengantar adik-adiknya ke sekolah dan kuliah. Dan yang terpenting dalam hidupnya, bulan depan, Ia akan menikah dengan Aisha. Sang bidadari Idamannya. Aisha yang bukan di dunia khayalannya. Ia pun juga sudah berjanji kepada Aisha, ia akan menulis kisah mereka sendiri, sebagi hadiah spesial pernikahan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar