Rabu, 21 September 2011

SIAPA MENELADANI SIAPA


                “Seharusnya antum semua sebagai mahasantri, dan sebagai kakak bagi adik-adiknya di SMP dan SMA, mampu menjadi contoh yang terbaik. Kalau shalat, selalu menjadi yang terdepan. Datang sebelum adzan berkumandang. Bukan berangkat ketika qamat bla... bla... bla...” kata salah seorang ustadz ane di pondok.

                Sobat eL-Ha, mungkin di antara kita ada yang sedang bersekolah di SMP atau SMA. Atau mungkin kuliah (seperti ane). Pastinya kita punya adik, kan? Mungkinn satu, dua dan seterusnya. Tapi ane anak bungsu”, atau ,“ane anak tunggal,” kata sebagian dari kalian, misal. Menjadi anak bungsu ataupun anak tunggal bukan berarti kita ga punya adik. Kita punya sepupu yang lebih kecil dari kita, anak tetangga, ata, seperti dalam kasus ane di atas, karena ane nyantri di sebuah pondok pesantren, adik-adik kelas ane, yang di SMP dan SMA, tentunya menjadi adik ane.

                Nah, sekarang kita sudah tahu kalau kita punya adik. Artinya, kita adalah seorang kakak. Dan sebagai kakak, kita musti menjadi contoh, teladan, dan panutan bagi adik-adik kita. Seorang adik cenderung mengikuti tingkah laku kakaknya. Maka tak jarang, ketika adik kita berbuat salah atau dilarang berbuat sesuatu, nama kita disebut-sebut olehnya. “tapi, bunda, bang Albar juga bla... bla... bla....” Kira-kira begitu kata adik ane di rumah. Bagi yang nyantri seperti ane pun juga, mungkin, sering mendengar adik kelas berkata, “tapi, Ustadz. Kakak SMA aja boleh begini dan begitu,” atau,”kakak mahasiswa kok boleh begini dan begitu. Kok kami dilarang”?

                Sobat eL-Ha, segala perbuatan kita yang tertangkap kamera adik kita akan terekam dengan baik dalam memori mereka. Oleh karenanya, kalau ingin punya adik yang shalih dan shalihah, kudu jadi shalih/shalihah dulu. Tapi, lagi-lagi karena kita Cuma manusia biasa, terkadang kita kurang peka, alias cuek bebek  terhadap hal-hal seperti ini. Namun, hal itu wajar, jika kita masih mau menyadari, mengakui dan bertekad untuk merubah sikap kita. Yang jadi masalah besar, terkadang justru malah kita sebagai kakak yang iri terhadap perlakuan orangtua, guru atau ustadz kita kepada adik-adik kita. Tak jarang kita mengeluh ingin disamakan dengan mereka. Kalau sudah begini, mau jadi apa kita?! Nah, makanya, mulai dari sekarang, mumpung masih ada waktu, kita masih bisa meruba hal-hal buruk agar kita mampu menjadi contoh dan teladan yang baik bagi adik-adik kita.

                Eit. Masih ada satu masalah yang terlewat. Yang tentunya ini tak kalah penting. Baca lagi paragraf pembuka! Pahami! Kalian tahu skenarionya. Ya, di situlah masalahnya. Terkadang orangtua, guru, dan ustadz menginginkan anak-anaknya atau menyuruh berbuat begini dan begitu. Tapi terkadang lupa diri. Dirinya sendiri belum begini dan begitu. “nak, belajar!” kata ibu yang sedang nonton sinetron. Seorang ayah melarang anaknya mencuri, karena itu perbuatan dosa. Namun tanpa sadar, atau memang sengaja, mengakali termis/meteran listrik biar bagaimana bisa pakai banyak bayar dikit. Atau seperti dalam kasus ane, santri-santrinya yang lebih tua diperintahkan untuk datang ke masjid lebih awal dari adik-adiknya, sebagai contoh bagi mereka. Tapi, kenyataannya, ustadz, pengasuh/mushrifnya selalu datang belakangan. Ups, ane bukan ingin menjelek-jelekkan seseorang atau suatu lembaga. Ane cuma ingin agar kita sama-sama membuka mata. Jadi, jangan mimpi punya anak-anak atau santri-santri yang shalih dan shalihah.

                Jadi, sobat. Bukan ingin menyalahkan dan tak mau disalahkan. Cuma ingin kita sama-sama bisa memetik hikmahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar