Kamis, 22 September 2011

YANG PENTING HATINYA?



                Beberapa waktu lalu, ane terlibat dalam perdebatan yang sengit dengan teman ane. Pada dasarnya dia mempertahankan pendapatnya bahwa, pergi ke dukun untuk berobat itu boleh asalkan niatnya karena Allah. “Yang penting hatinya,” ucapnya.
                Pepatah mengatakan, “orang yang berilmu ibarat padi, semakin berisi semakin menunduk.” Namun pepatah tersebut tampaknya sudah hampur tidak berlaku lagi saat ini. Seharusnya, semakin bertambah ilmu seseorang, maka ia akan semakin tawadlu (rendah hati). Namun realita berkata sebaliknya. Amerika denga kepintarannya, membuat senjata-senjata pemusnah massal untuk menguasai dunia. Zionis Israel dengan kepintarannya, mengendalikan negara-negara di Dunia untuk kepentingannya. Orientalis dengan kepintarannya, mencoba menghancurkan Islam melalui ilmu pengetahuan, sejarah dan pemikiran. Pejabat dengan kepintarannya, menipu rakyatnya. Dan tidak sedikit pula umat islam dengan kepintarannya mempermainkan ajaran islam.
                Sobat eL-Ha. Di samping contoh-contoh di atas yang saya sebutkan di atas tentunya masih banyak lagi contoh-contoh lain yang  setema. Namun kali ini saya hanya akan membahas contoh yang terakhir disebutkan. Ya. Banyak umat islam yang menggunakan kepintarannya, pengetahuan dan ilmunya, untuk menghindar dari syari’at islam. Menggunakan hukum untuk lari dari hukum.

                Salah satu hal yang sering dipermainkan adalah niat. Banyak orang, terutama golongan liberal, mengatasnamakan niat untuk menghindar dari hukum. Seperti contoh yang saya kemukakan di paragraf pembuka. Bagaimanapun, praktik perdukunan—yang menggunakan bantuan makhluk halus—hukumnya haram, karena itu adalah perbuatan syirik. Dengan alasan apapun: mendesak, alternatif terakhir, dan lain sebagainya, praktik tersebut tetap saja salah.
                Sebelum mengatasnamakan niat, kita musti tau dulu hakikat dari niat itu sendiri. Fungsi dari niat ialah menentukan apakah diterima atau tidaknya suatu amalan. niat akan menentukan apakah suatu amalan akan mendapat ganjaran atau sia-sia. Niat tidak akan merubah hukum suatu perbuatan. Seperti mencuri. Hukum mencuri tetap saja haram, walaupun niatnya untuk memberi makan orang-orang miskin. “trus, gimana kalo ada orang berbuat kebaikan, berinfak, misal, tapi niatnya karena ingin dipuji, alias riya’.” Eit, tunggu dulu. Hal itu memang dilarang. Namun bukan berarti amalan berinfaknya yang jadi haram. Tetapi perbuatan riya’-nya lah yang haram untuk dilakukan.
                Masih, ingin berkilah?! Saya kasih contoh yang akan lebih mengena, bahwa kita ga bisa bermain-main dengan yang namanya niat. Misal, anda adalah seorang suami dari istri anda (ya, iyalah. Masa istri tetangga). Sudah sepuluh tahun pernikahan anda, namun istri anda belum hamil juga. Usut punya usut, anda divonis mandul oleh dokter. Tentunya anda merasa tersiksa. Begitupun istri anda.
                Menginjak usia pernikahan anda yang ke-sebelas, tiba-tiba istri anda hamil. Tentunya anda merasa heran. anda dan istri anda tahu bahwa ada masalah pada sperma anda. Maka muncul pertanyaan, “bagaimana mungkin si Dia bisa hamil.” Setelah anda menyelidikinya, ternyata istri anda mengaku bahwa dirinya berselingkuh dengan orang lain. Ketika anda bertanya, “kenapa?” trus di jawab olehnya, “dinda ingin kita hidup bahagia, mempunyai anak. Yang penting, kan niatnya. Ini semua demi kebaikan kita.” Apa yang akan anda jawab? Anda setuju. Anda pasti sudah gila jika setuju.
                Sobat eL-Ha. Demikianlah perumpamaan yang saya buat. Kita ga bisa seenaknya membawa-bawa kata niat supaya kita bisa bebas melakukan apapun. dalam sebuah hadits menjelaskan bahwa melakukan amalan salih harus dengan cara yang salih pula. Tidak ada ceritanya seorang koruptor boleh menginfakkan harta kepada fakir miskin dari hasil korupsi. Tidak ada ceritanya seseorang diperbolehkan berwudlu dengan air kencing di kala susah mencari air, betul. Begitupun dengan praktik perdukunan. Meskipun yang melakukannya adalah si dukun, kita yang meminta bantuannya pun juga telah berbuat syirik. Sang dukun bersekutu dengan jin. Kita bersekutu dengan sang dukun. Maka kita juga bersekutu dengan sang jin.
                Jadi, sobat eL-Ha. Hari ini kita belajar mengambil hikmah, bahwa kita tidak bisa seenaknya mengatasnamakan niat agar bisa berbuat seenaknya. Jangan sampe kita ikut-ikutan kaum liberal, yang menggunakan hukum untuk lari dari hukum. Ntar di hukum sama Allah, loh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar